Teropong Bumi Pertiwi

Hampir tujuh puluh dua tahun sudah Indonesia menyatakan kemerdekaannya di hadapan dunia. Memproklamirkan bahwa bangsa tersebut sudah lepas dari penjajahan para manusia tidak beradab yang bahkan dengan setia menjajah Indonesia lebih dari 300 tahun lamanya. Maka seharusnya, sudah tujuh puluh dua tahun itu pula pendidikan di Indonesia merangkak maju ke masanya yang lebih baik.

Pendidikan adalah hal yang sangat vital bagi sebuah bangsa. Karakter bangsa, kemajuan ekonomi, pendapatan masyarakat, kedamaian sosial, berdasar pada satu hal, yakni pendidikan. Pendidikan yang baik akan membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik. Dan sebaliknya, pendidikan yang buruk, tidak menutup kemungkinan akan menciptakan kehidupan masyarakat yang buruk pula. Ribuan artikel dan jurnal ilmiah yang dirilis para peneliti pendidikan di Indonesia tak kunjung memperbaiki kondisi pendidikan yang carut marut.

Mengapa demikian? Jangan dilihat dari berapa banyak lulusan pendidikan terbaik di sebuah kota besar. Contohlah Jakarta. Di Jakarta, seorang lulusan sarjana strata satu pun bergelimpangan di mana-mana. Lulusan S2 sudah tidak terhitung, dan profesor sudah ada di mana-mana. Tapi mengapa pendidikan di Indonesia tetap saja dianggap buruk, padahal orang yang memiliki pendidikan tinggi sudah tak terhitung jumlahnya. Sekalipun Indonesia merupakan negara berkembang, namun banyak orang yang hartanya bergelimpangan. Yang kuliah ke luar negeri tak terhitung, apalagi pengusaha kaya yang penghasilannya berjuta-juta.

Tapi, kesenjangan sosial yang ada di Indonesia sangat mengerikan. Di kota metropolitan yang orang-orangnya memiliki banyak uang, lalu dihambur-hamburkan untuk kesenangan semata sudah tidak lagi satu dua. Dan di sebuah desa yang merana, banyak keluarga yang dengan terpaksa meminta-minta karena anak mereka sudah tidak bisa lagi menahan lapar. Itu fenomena. Dan banyak sekali terjadi di berbagai belahan wilayah di Indonesia. Orang kota yang sibuk dengan update segala macam fashion terkini, style terkini, bahasa kekinian dan tidak pernah memerdulikan bagaimana sulitnya mencari uang. Dan orang desa sibuk dengan bagaimana cara mereka bertahan hidup dan menyambung nafas tanpa memerdulikan semua perihal luxury. Dan kesenjangan sosial itu tidak dapat dipungkiri salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pendidikan.

Jika orang kota dididik betapa sulit mencari uang, dididik tentang kepedulian sosial, akhlak karimah dan segala macam pendidikan spiritual yang dibutuhkan seorang manusia, dia tidak akan mungkin tega menghabiskan uangnya dengan hal-hal yang tidak berguna. Jika pendidikan sudah menyentuh hati orang tersebut, dia akan lebih perduli pada sesamanya yang lebih membutuhkan. Jika pendidikan sudah menjadi sebuah identitas, tidak akan mungkin ada kemiskinan. Karena semua orang sibuk membantu sesamanya.

Pernah mendengar kisah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz? Sebutannya adalah Umar bin Khattab ke II. Waktu dia menjabat sebagai pemimpin di Jazirah Arab ketika itu, dia kebingungan untuk mencari warganya yang berhak menerima zakat dan qurban. Semua orang memiliki harta cukup, dan tak ada satupun warganya yang layak menerima zakat. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika itu masyarakat ingin berlomba saling membagikan hartanya pada orang lain, tidak ingin berpangku tangan dan hanya mengandalkan bantuan dari orang lain. Sementara mereka yang merasa memiliki harta yang cukup, ingin sekali berzakat dan berqurban sebanyak-banyaknya.

Bayangkan jika hal tersebut terjadi di Indonesia. Tak ada satu pun masyarakat yang miskin, karena orang yang memiliki banyak harta saling berlomba ingin memperbanyak zakat dan shadaqah mereka. Tapi pada kenyataannya, paradigma shadaqah di masyarakat adalah menghabiskan uang dan mengurangi harta. Lalu mengapa? Lagi-lagi jawabannya adalah pendidikan. Tidak cukup seseorang memiliki pengetahuan matematika luar biasa, bahkan sampai jadi profesor di bidang matematika tapi mereka tidak memahami dan tidak mau belajar tentang matematika-nya shadaqah. Kalau dalam matematika 10-9=1, maka dalam matematika shadaqah 10-9=90×70=6300. Luar biasa bukan? Tapi mengapa banyak di antara para ahli berhitung itu tidak ingin shadaqah? Karena hal yang mereka ketahui adalah hukum matematika eksak yang lumrah berlaku. Dan diindikasikan bahwa kurangnya pendidikan spiritual di keumuman masyarakat.

Implikasi dari kurangnya pendidikan di Indonesia sudah tak bisa dihitung jari lagi. Jangankan dari implikasinya, realita pendidikan di Indonesia sendiri sudah dapat membuat siapapun menangis. Di tengah mereka yang memiliki puluhan seragam, masih banyak anak yang memakai seragam lusuh yang sudah dipakai beberapa generasi. Di tengah mereka yang diantar orang tua ke sekolah memakai mobil mewah, masih banyak anak yang berenang melewati sungai dengan derasnya arus untuk sampai ke sekolah. Di tengah anak yang sulit bangun di pagi hari untuk pergi ke sekolah, masih banyak di belahan Indonesia lainnya yang harus bangun lebih pagi agar sampai ke sekolah tepat pukul tujuh. Itu realita. Dan bukan lagi menjadi rahasia bangsa. Bahkan sudah dianggap berita biasa. Orang kota menganggap hal itu wajar karena akses jalan orang desa sulit ditempuh, dan kepedulian mereka kembali tidak ada.

Dan juga tidak sedikit diantara anak sekolah yang beruntung dapat mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak dan keluarga yang cukup malah menyia-nyiakan keberuntungannya itu dengan tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Dan di mana peran pemerintah dan mereka yang bergelimpangan uang?

Jangan hanya menyalahkan satu pihak, yaitu pihak pemerintah. Tapi tanyakan juga mereka yang mengaku jutawan tapi enggan mengeluarkan sepeserpun demi sesamanya. Yang malah hanya memerdulikan kelompok sosialitanya demi eksistensi sebagai keluarga terpandang. Kita analogikan Indonesia ini dengan sebuah keluarga. Di mana orang tuanya adalah seorang buruh tani yang penghasilannya tidak seberapa. Namun orang tua tersebut tak pernah memiliki kata menyerah untuk menyekolahkan anaknya dan memberikan penghidupan yang layak bagi anak-anaknya. Setelah mereka sukses, beberapa diantara anaknya sudah menjadi seorang pengusaha kaya yang uangnya melebihi orang tuanya. Sementara beberapa anaknya lagi belum sempat disekolahkan karena biaya. Apakah kita juga akan terus memaksa orang tuanya yang hanya buruh tani untuk menyekolahkan anaknya tanpa menuntut kewajiban dari kakak-kakaknya yang sudah sukses? Kadang kita salah dalam menilai pemerintah yang lebih banyak terlihat kekurangannya daripada menunjukkan kelebihannya. Pun orang tua, tidak selamanya kewajiban itu milik orang tua. Masih banyak mereka yang juga berkewajiban menyekolahkan anak-anaknya. Jika anak-anak kita sudah sukses, maka anak orang tetangga dan saudara-lah yang menjadi kewajiban kita.

Dan, tidak sedikit juga kita saksikan mereka yang banyak berbicara di mimbar mengenai revolusioner pendidikan di Indonesia dengan meriset mereka, namun bantuan yang diberikan nol besar. Mereka hanya peduli dengan penelitian yang mereka lakukan, tapi tidak dengan nasib anank-anak sekolah yang kurang beruntung tersebut. Juga banyak acara televisi yang menyoroti tentang keprihatinan mereka, tapi masalah keironian pendidikan di Indonesia tak kunjung selesai.

Dan perlu disoroti juga mengenai para sarjana pendidikan yang mengaku telah lulus di bidang pendidikan namun tidak mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan pendidikan. Para sarjana pendidikan yang bersekolah di bidang pendidikan tapi tidak kompeten untuk mengajar. Ribuan, bahkan jutaan dari mereka menganggur karena stok guru di perkotaan sudah gemuk. Atau bisa jadi setelah lulus kuliah, mereka malah merancangi diri sebagai pebisnis karena iming-iming uang yang lebih menjanjikan. Dan ini pun ironi, masih karena pendidikan. Kita anggaplah pendidikan sosial kemasyarakatan mereka tidak komprehensif, sehingga lebih mementingkan royalti yang banyak daripada kesadaran mereka dalam membina bangsa menjadi lebih baik.

Mestinya, ribuan guru yang merasa tidak beruntung mendapat lapangan kerja pergi merantau menolong anak orang yang di sekolahnya kekurangan tenaga guru. Bersedia di tempatkan ke daerah yang terpencil, karena di sanalah titik ironi Pendidikan Indonesia. Di samping pemerintah yang kurang kredibel dalam pemerataan fasilitas di daerah terpencit karena alasan letak geografis yang tidak mendukung. Mestinya, ribuan guru yang malah memutuskan menjadi pebisnis itu sadar bahwa karakter dibentuk bukan berdasar pada uang yang berlimpah. Tapi pada pendidikan. Sehingga mereka mau memikirkan bagaimana masa depan jutaan anak yang terjebak nasib dalam kehidupan yang dibawah garis kemiskinan.

Dan realita ini pun seolah menjadi tamparan hebat bagi calon guru, guru yang bekerja di bawah pemerintah, guru besar, guru qalbu, dan guru-guru lainnya yang mengaku peduli pada pendidikan di Indonesia. Belum lagi jika berbicara elemen pendidikan yang diatur khusus oleh pemerintah. Mulai dari kurikulum, sistem ujian, dan masih banyak lagi. Hal itu tidak akan habis dibicarakan sekalipun harus menghabiskan dua periode usia Indonesia sekarang. Namun, jangan juga hanya sekedar jadi obrolan tak bermakna, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan diri sendiri. Hal ini harus menjadi proposal pergerakan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik, demi menciptakan bangsa yang kaya hati, kaya amal, kaya akal dan kaya materi.

Artikel berjudul “Teropong Bumi Pertiwi” ini adalah artikel lomba yang di adakan oleh Redaksi Seputar Kuliah

Ditulis oleh: Hanifatunnisa

#Seputarkuliah
Leave A Reply

Your email address will not be published.

x