Untukmu yang Sedang Patah Hati karena ditolak Perguruan Tinggi Kedinasan

Tidak perlu sesedih itu, karena dunia kampus di perguruan tinggi umum tak kalah menyenangkan. Dulu saya adalah orang yang berfikiran pragmatis-praktis yang tidak mau susah–susah. Mau yang serba instan saja. Termasuk dengan menentukan pilihan dengan masa depan saya. Saya bukanlah tipe orang dengan cita–cita tinggi. Bagi saya cukup yang sederhana saja, asal saya bisa mencapainya.

Kala itu saya baru lulus SMA, masih bingung menentukan arah harus dibawa kemana deretan nilai – nilai yang dituliskan di ijazah saya. Manut grubyuk saja daftar sekolah kedinasan. Saat itu saya mengisi formulir di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Berfikiran sedrhana, hanya ingin mendapat jaminan pekerjaan setelah saya menyelesaikan pendidikan saya.

Tahap demi tahap saya lewati dalam tes seleksi masuk perguruan tinggi tersebut. Saya harus sikut sikutan dengan sekitar 26 ribu calon–calon mahasiswa yang juga mengidamkan PTK seperti saya. Dan akhirnya, Tuhan tau mana yang terbaik untuk saya, saya gagal di tes tahap terakhir. Iya, setelah 3 tahapan tes sebelumnya yang cukup menguras tenaga dan fikiran saya. Saat itu perasaan campur aduk menyelimuti hati. Marah dan kecewa pada diri saya sendiri. Dan di hari pengumuman itu, lebih dari separuh semangat saya hilang.

 

“Kalau mau nolak kenapa gak dari awal aja, kalau gini kan jadinya php,” celoteh saya. Dramatis dan bahkan saya tidak bisa berhenti menangis dari jam 1 subuh hingga sore hari. Namun beruntungnya, saat itu saya telah lolos dan diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Namun itu tidak banyak membantu memulihkan semangat saya karena jurusan di mana saya diterima bukanlah pilihan pertama.

Terpuruk? iya, saya tidak yakin mampu menyelesaikan pendidikan di tempat ini karena saya tidak begitu percaya dengan kemampuan saya. Orientasi saya dalam pendidikan saat itu hanyalah bagaimana saya bisa mudah mencari pekerjaan dengan gaji yang benefit. Saya rasa jurusan tempat saya belajar tidak memberikan dampak yang saya inginkan. Jadi, saya tidak terlalu bersemangat sejak di masa awal kuliah yang saat itu sedang disibukan dengan kegiatan orientasi untuk mahasiswa baru.

Sampai suatu saat saya menemukan kembali semangat saya. saya saat itu menjadi peserta kuliah umum yang diberikan oleh salah seorang profesor. Beliau menyatakan bahwa kesempatan untuk menjadi mahasiswa bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh oleh setiap orang. Hal itulah yang kemudian menyadarkan saya untuk kembali bangkit dan bersemangat. Melakukan apa saja yang terbaik.

 

Semenjak saat itu saya menyadari satu hal yang bahkan mampu merubah pola pikir saya. Untuk apa kita patah tanpa melakukan usaha untuk bangkit. Sementara waktu terus berjalan, jika kita terus menerus jalan di tempat, bukankah itu justru akan semakin menghancurkan kita? Seketika itu saya mulai berani kembali menata impian saya. Kalau kata anak zaman sekarang mimpi yang hakiki. Mimpi yang benar–benar ingin saya wujudkan bukan hanya tentang bagaimana agar saya bisa meraih mimpi itu dengan mudah, namun apa saja cara yang harus saya lakukan agar mimpi itu dapat terwujud. Memulai untuk tidak terlalu menyukai hal–hal yang instan karena rasa manis perjuangan tidak akan didapat dari hal–hal yang terjadi secara begitu saja.

Kampus perguruan tinggi umum bukanlah hanya gedung gedung kokoh tanpa isi. Di sana ada profesor, ada peneliti, ada orang–orang dengan pengalaman yang luar biasa yang bisa menyalurkan ilmunya kapan saja ketika kita minta. Di dalamnya juga ada banyak sekali fasilitas untuk mengembangkan diri dan juga pengalaman. Kampus adalah tempat menarik, kapan lagi kita bisa berada di lingkungan para ahli? berbagi ilmu dengan para penemu? Dan untuk mendapatkanya tidak harus melulu di kampus Perguruan Tinggi Kedinasan.

 

Terlepas dari hal tersebut, percayalah. Kuliah memakai baju bebas itu menyenangkan. Jadwal kuliah yang bahkan bisa kalian tentukan sendiri itu mengasyikan. Dan ungkapan bahwa “Seragam jauh lebih menggoda daripada jaket himpunan” itu tidaklah sepenuhnya benar. Faktanya kuliah di Perguruan Tinggi Non Kedinasan justru akan membuka lebar–lebar peluang untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi. Tidak perlu terikat dengan perjanjian pengabdian seperti di Perguruan Tinggi Kedinasan.

Di mana tempat pendidikan terakhir yang kita tempuh hanya menyumbang sekian persen dari seluruh faktor yang memengaruhi masa depan. Selebihnya tergantung bagaimana kita selama menempuh pendidikan tersebut. Jikalau hidup adalah perjuangan dan masa depan adalah bagian dari yang harus diperjuangkan, maka perjuangan itu haruslah berlangsung secara continue. Tidak etis rasanya jika harus patah karena satu perjuangan yang gagal. Bukan hal yang memalukan menjadi satu dari sekian ribu orang–orang yang gagal, karena gagal juga bagian dari perjuangan. Tetap Semangat!

Artikel berjudul “Untukmu yang Sedang Patah Hati karena ditolak Perguruan Tinggi Kedinasan” ini adalah artikel lomba yang di adakan oleh Redaksi Seputar Kuliah

Ditulis oleh: Ouditiana Safitri
(Bisa disapa lewat id line/ig :ouditiana)

#SeputarKuliah #SeputarKuliahCom

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.

x