One Day in Makassar

One Day in Makassar

Angelica Paramudita Candra Pradana

 

Aku adalah mahasiswa yang sejak dulu ingin sekali merantau, atau setidaknya ke luar Jogja dalam waktu beberapa hari. Sering sekali iri timbul ketika sudah sampai di akhir semester seperti ini, lalu banyak teman yang ‘pamit’. Satu per satu mereka pamit, hingga akhirnya dari sekelompok orang, tinggal aku yang masih di Jogja. Yang biasanya ketika siang, sore, dan malam makan bareng, sekarang waktu bosan di rumah, ndak ada lagi yang bisa diajak ngobrol.

Sedih aja ketika mereka mengucap ‘pamit’. Seperti mau pergi jauh rasanya tuh. Tapi bukankah memang begitu? 1 bulan bukan waktu yang singkat.

Tapi bukan itu poinnya hehe

Ketika suatu waktu aku diberi kesempatan untuk terbang ke pulau Sulawesi selama 1 minggu, ada satu hal yang sangat berkesan hingga saat ini.

Saat itu pertama kalinya aku berdiri di depan 3 dewan juri berskala nasional. Di sebelahku ada 2 teman dekatku dengan wajah was-was, namun berusaha tenang. Di hadapanku, ada 3 orang yang sama sekali tak kukenal dengan wajah yang jauh lebih tenang dari teman-temanku saat itu. Dan di sana ada puluhan orang yang menonton.

Dan ketika menyadari kondisiku saat itu, aku sangat tegang, was-was, dan gemetaran. Semalaman waktuku aku habiskan untuk mempelajari materi yang diberikan oleh salah satu temanku tempo hari, yang kupikir akan ada kemungkinan keluar dalam mosi kali ini. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa menebak persoalan apa yang akan diangkat.

Aku duduk di sofa dengan mikrofon yang sudah disiapkan di meja. Beberapa menit lagi, semifinal lomba debat ini akan dimulai, dan aku semakin tegang.

Dengan gemetaran, aku mengeluarkan handphone dari saku. Aku berharap tak ada yang tahu aku sedang mengeluarkan hp saat itu, termasuk sahabat di sebelah kanan kiriku. Aku langsung membuka whatsapp, dan search nama seseorang.

Seseorang dan juga satu-satunya yang sangat aku pikirkan saat itu. Orang yang kuharapkan dapat melihat dan memberi support secara langsung.

14 Juli pukul 15.30, babak semifinal National Economics Creative Competition akan dimulai, namun aku masih asyik dengan handphone yang kuaktifkan diam-diam.

Setelah beberapa detik mengetik pesan teks, aku langsung memasukkan gawai itu ke dalam kantong saku. Tanganku basah seketika, dan gemetaran. Aku menggosok mataku perlahan, dan setelah itu, semifinal dimulai.

Aku berharap tak ada yang tahu aku menangis. Bukan, aku menangis bukan karena takut atau was-was. Namun karena aku mengingat 2 orang yang aku inginkan ada di sana, ayah dan ibu.

Saat itu aku baru sadar, sudah banyak yang kulewatkan saat kuliah. Banyak waktu yang tak kuhabiskan di rumah. Aku sangat merasa bersalah saat itu. Namun saat itu aku tidak di Jawa, dan tiba-tiba ingin sekali berada di rumah.

Tiba-tiba teringat bahwa sebetulnya ayah dan ibu yang membuatku dapat duduk di depan juri saat itu, ayah dan ibulah yang membuatku berani mengambil keputusan terbang ke Sulawesi saat itu, dan ayah dan ibu yang walaupun tak ada di sana, tetap kurasakan keberadaannya di dekatku.

Merekalah yang setiap dalam pesan teksnya menanyakan ‘kapan pulang?’, sedang aku belum bisa pulang saat itu. Dan dari situ, aku memahami makna pulang.

Sungguh, aku sesenggukan di depan juri dan teman-temanku. Tapi kupikir tak ada yang tahu.

Tulisan ini dikirim ke redaksi seputarkuliah.com oleh:

Angelica Paramudita Candra Pradana

about.me/a.paramudita

 
Undergraduate Student of Agroindustrial Technology
Faculty of Agro Technology
Universitas Gadjah Mada

Leave A Reply

Your email address will not be published.

x