Melangit, Cerita Cita-Cita Anak Tapal Batas Utara Indonesia

By LKTI VII Nasional FKM Unand

            Sinar matahari pagi menyusup di antara sela-sela helai dedaunan sanggah (cengkeh.red), varietas unggulan Dusun Punti Kayan, Desa Nekan, Kecamatan Entikong pagi itu. Tidak ada sepoi angin yang membasuh wajah-wajah mungil kanak yang saling bercengkrama sambil menapaki tanjakan curam menuju SDN 13 Punti Kayan. Jarum panjang jam baru saja melampaui angka enam, namun pasukan berseragam merah putih itu telah bergerilya dari rumah-rumah papan di bawah bukit menuju riak-riak ilmu yang akan segera meringankan dahaga mereka akan masa depan yang lebih baik.

            Aku dan beberapa teman bergegas mengikuti kerumunan yang hidup akan semangat itu sambil menenteng beberapa ember serta donasi sikat dan pasta gigi, susu, serta sabun cuci tangan untuk kegiatan penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pagi ini. “Bisa berhenti sebentar?” ujar salah seorang temanku.

            Kami tergelak mendapati kami akan kalah ‘bermain fisik’ dengan segerombolan anak di bawah umur. Dari atas tanjakan dengan kemiringan hampir 90 derajat itu aku dapat melihat beberapa mamak (panggilan bagi ibu.red) dan bapak meneriaki kami. Aku mampu mendengar salah satunya, “Olahragaaa!”

***

            Anak-anak Punti Kayan menolak mengenal kata lelah. Bagi mereka hanya ada dekat dan dekat, tidak ada kata jauh di dalam kamus mereka. SDN 13 Punti Kayan yang berada di koordinat N 0º 8836 dan E 110º 3323 itu berada di atas bukit. Setelah berhasil mencapai tanah landai, perlu beberapa anak tangga lagi untuk mencapai bangunan sekolah.

            Bangunan sekolah sendiri terdiri atas satu ruang guru, satu perpustakaan, dan empat kelas. Jangan khawatir, di bagian belakang sekolah ada dua toilet untuk dipakai bersama, tapi kenapa kelasnya hanya ada empat? Sini kuberitahu rahasia yang membuatku bangga kepada adik-adikku, pernah menonton film Tanah Surga Katanya? Film yang didirikan di atas kisah-kisah perlawanan sengit penduduk perbatasan Indonesia-Malaysia dengan ‘takdir’ pilihan Tuhan? Pernah memperhatikan bagaimana rupa-rupa kelasnya?

            Seperti itulah keadaan kelas-kelas salah satu SD yang berada di wilayah perbatasan utara Indonesia-Malaysia ini. Kelas satu dan dua terpaksa berbagi tempat dengan suatu papan yang menjadi tabir pemisah di tengah kelas. Kelas tiga sedikit lebih baik dengan mendapat kesempatan untuk belajar di antara buku-buku milik perpustakaan.

            Tidak ada hiasan dinding yang cukup layak untuk dijadikan ‘hiasan’. Tidak ada daftar piket atau mata pelajaran yang ditulis dan dihias apik di atas karton atau papan dan dijadikan perlombaan setiap akhir semester. Hanya ada tulisan bapak dan ibu guru di atas kertas berukuran A4 yang bahkan bisa tidak akan diganti sampai beberapa kali kenaikan kelas.

            Kalau sudah begitu, apa kabar semangat belajar adik-adikku, adik-adikmu, generasi penerus bangsa yang katanya akan segera dijadikan generasi emas itu?

            “Adik-adik, besok mau jadi apaaa?”

            “Guru, kak.”

            “Perawat!”

            “Tentara, kak!”

            “Oh ya? Nanti mau jadi guru dimana?”

            “Di SDN 13 Punti Kayan, kaaak!”

            “Wah, keren! Terus yang mau jadi perawat?”

            “Mau merawat orang-orang Punti Kayan biar sehat!”

            “Tentara?”

            “Mau mengamankan negara, kak!”

Bisa nilai sendiri bagaimana semangat mereka?

***

Tentang hidup, anak-anak Punti Kayan sepertinya telah terlebih dahulu didewasakan kesederhanaan akibat keadaan dibandingkan anak-anak lainnya. Tidak semua anak punya sepatu untuk berangkat sekolah, beberapa di antaranya terpaksa menenteng beberapa buku di tangan karena tidak memiliki tas. Selebihnya menyiasati dengan menyelipkan buku-buku di dalam kresek hitam besar bersama dengan barang dagangan untuk menambah penghasilan mamak di rumah. Ada beberapa yang memiliki kemampuan untuk melengkapi diri dengan sepatu dan tas, namun tidak semua sepatu dan tas pun layak pakai. Banyak di antaranya yang sudah memiliki ventilasi dengan sol yang tidak lagi mampu menahan panas bumi di garis khatulistiwa tersebut.

Baca Juga : Inovasi Permainan Quarter jadi Metode Pembelajaran Alternatif

Dusun Punti Kayan yang berada di lindungan beberapa bukit terletak jauh dari desa dan kecamatan. Butuh waktu sekitar 40 menit dengan kendaraan untuk menempuh 9 km jalanan menanjak dan menurun untuk mencapai pusat desa. Punti Kayan pun tidak mengenal listrik 24 jam, hanya ada diesel yang dinyalakan setiap pukul enam hingga sepuluh untuk sedikit menghibur hati warga dusun dengan sinetron sekelas Anak Jalanan atau Siapa Takut Jatuh Cinta Lagi. Jadi jangan heran mengapa berada di daerah terpencil tak membatasi anak Punti Kayan untuk berujar, ‘OMG!’ atau mengenal lagu ‘Goyang nasi Padang, pakai sambal randang…’

Bagi milenial, sinyal dan internet tentu telah menjadi salah satu kebutuhan primer yang wajib dimiliki namun tidak bagi generasi Z Desa Punti Kayan. Tidak ada sinyal internet yang menembus kokohnya perbukitan dan gemerlap hijau pepohonan hutan Kalimantan untuk Punti Kayan. Punti Kayan mewah dengan keistimewaannya sendiri. Setiap sore anak-anak Punti Kayan berlarian menuju sungai dan mandi serta bermain untuk meluruhkan sedikit kerasnya kehidupan dari bahu dan pundak kanaknya.

Dusun Punti Kayan hanya disertai dengan sebuah PAUD dan SD sebagai pelengkap sarana dan prasarana pendidikan. Anak-anak Punti Kayan harus menggunakan kendaraan pribadi atau menggunakan kendaraan yang disewa bersama untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMP dan SMA. Bahkan untuk mengikuti ujian nasioal pun, siswa-siswa SD harus mengikuti ujian di sekolah pusat kecamatan dengan menggunakan kendaraan sewaan dan membayar iuran sebesar Rp 180.000,- untuk mendapatkan fasilitas itu.

Tak jauh berbeda, dengan kondisi yang ada, siswa SMP dan SMA Dusun Punti Kayan dipaksa menyapa pagi dengan kantuk menggelayuti mata jauh sebelum siswa-siswa seusia lainnya bangkit dari peraduan. Tak jarang, banyak dari anak dusun yang terpaksa berhenti menyalami guru-guru di sekolah dan menggarap hidup di ladang akibat sulitnya akses meraih pendidikan.

Sekolah gratis dengan akses yang lancar dan mudah menjadi impian anak-anak Punti Kayan. Biaya sebesar Rp 1-2 juta harus dikeluarkan mamak dan bapak untuk anak-anak Punti Kayan pada awal sekolah, belum termasuk biaya transportasi yang harus dikeluarkan setiap hari. Sanggah tidak cukup untuk menanggung semua kebutuhan itu. Hal ini memaksa banyak remaja yang telah lulus SMA pergi ke ibukota kecamatan Entikong dan Pontianak untuk mengikuti kegiatan pembinaan seperti les dan pelatihan kemudian bekerja. Sedikit sekali anak Punti Kayan yang mendapat nikmat untuk melumat pendidikan sampai akhir.

Tidak sedikit yang menangis diam-diam menelan semangat bulat-bulat. Tidak sedikit pula yang terlebih dahulu mengubur mimpi dalam-dalam sebelum tamat bersekolah. Aku teringat malam dimana milky way tiba-tiba menghiasi langit Punti Kayan, bulan dan matahari Punti Kayan memang selalu indah dengan bulat sempurna, namun baru malam ini taburan bintang-bintang berserakan tanpa cela di langit. Pemandangan itu seakan mengejek keluh kesah di dadaku yang sebentar lagi akan menjelang rindu.

Salah satu percakapan yang paling kuingat pada malam itu adalah ketika salah satu remaja putri Punti Kayan tiba-tiba menubrukku. Ia adalah salah satu teman bicara pada malam pemutaran film di bioskop outdoor kebanggaaan Punti Kayan.

“Hati-hati di jalan ya, kak. Doakan aku dan teman-teman di sini bisa seperti kakak dan yang lainnya. Biar aku bisa pergi ke tempat kakak,” ujarnya sambil memelukku dan menangis.

Seandainya dia tahu, seandainya anak-anak ini tahu, seandainya Punti Kayan tahu, seandainya seisi dunia tahu, siapa yang patut lulus dengan nilai sempurna dari kehidupan ini? Itulah anak-anak Punti Kayan yang terus memegang bara asa dalam segala keterbatasan yang mereka jadikan teman.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.

x