Bystander Effect ada di grup-grup medsosmu

“Assalamualaikum, mohon bantuannya semua, dibutuhkan golongan darah O untuk operasi”

“Gaes, ada yang tahu cara mengurus ini KTM yang hilang?”

“Genks, siapa-siapa saja yang sudah tugas mata kuliahnya?”

Pernah tidak, kita menemukan pertanyaan seperti itu di grup? Ataukah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya meminta pertolongan?

Tak bisa dipungkiri grup-grup yang kita masuki di media sosial sering dijumpai hal-hal semacam itu. Mulai dari grup kerabat, grup organisasi/komunitas, grup diskusi sampai grup-grup kelas.

Dan ketika kita dihadapkan kondisi seperti itu? Apa yang akan kita lakukan? Menjawab pertanyaan, atau hanya baca sembari mengharap ada penghuni grup yang lain yang menjawab?

-Bystander Effect
Orang yang membutuhkan bantuan sering kali tidak mendapatkan dukungan yang diharapkan. Mereka hanya melihat, tahu, dan segera berlalu. Perilaku seperti itu sangatlah umum kita jumpai, oleh peneliti menyebutnya sebagai Bystander Effect.

Bystander effect pertama kali dicetuskan oleh psikolog sosial Bibb Latane dan John Darvey. Istilah itu didapatkan setelah pembuhunan Kitty Genovese di sebuah apartement di New York tahun 1964. Genoseve yang baru pulang dari tempat kerjanya diserang oleh Winston Moseley, kemudian ditikam. Dalam masa-masa kritisnya, Genoseve berusaha meminta pertolongan. Mirisnya, orang-orang di apartement hanya tahu tanpa membantunya.

Baca Juga : Lakukan ini untuk menghemat ongkos menyusun skripsimu

Setelah dilakukan intestigasi, polisi mengungkap bahwa 37 orang tetangganya mengetahui kejadian penyerangan tapi tidak ada yang langsung turun tangan untuk menolongnya. Dua minggu setelah kejadian, sampai-sampai New York Times menerbitkan berita, “37 Who Saw Murder Didn’t Call The Police”.

Bibb Latane dan John Darvey (1968) mendefenisikan bystander effect sebagai fenomena empiris yang terjadi pada seorang ketika menghadapi situasi sulit, namun orang-orang hanya memperhatikan dan tidak berbuat apa dan beranggapan akan ada orang lain yang membantu dan bersedia menolongnya.

-Grup Media Sosial

Pembuatan grup-grup di media sosial tentnunya memiliki tujuan untuk mendapatkan informasi terkait tujuan dibuatnya grup, meskipun terkadang kita tidak mendapatkan informasi sesuai tujuan grupnya. Grup yang memiliki tujuan tertentu ini berbeda-beda jumlah anggotanya.

Nah, adanya grup yang dibuat ini memudahkan seseorang untuk membagikan informasi dan tentunya dijadikan sarana bertukar pikiran. Namun sayangnya, masyarakat sekarang lebih suka menjadi penikmat postingan-postingan grup dibandingkan terlibat untuk menjawab bahkan diskusi.

Sebagai contoh, terkadang orang membagikan kuosioner penelitian online di grup dengan harapan penghuni grup akan mengisi kuosionernya. Harapan itu sangatlah relevan karena di grup dengan jumlah anggota yang beragam, kita berharap akan banyak juga yang mengisi. Namun yang didapatkan hanya harapan belaka. Paling orang-orang terdekat saja yang akan mengisi kuosinernya.

Penelitian yang dilakukan oleh Bibb Latane dan John Darvey terhadap 3 kelompok mahasiswa sebagai relawan mengungkapkan bahwa sebanyak orang individu dalam kelompok bukan berarti semakin banyak yang menolong. Namun sebaliknya, akan semakin mengurangi rasa ingin menolong.

Hal ini kita rasakan sendiri ketika hendak meminta bantuan di grup-grup media sosial kita, ada berapa orang yang akan merespon?

Lantas, apa yang dapat kita lakukan?

Tentunya melihat kondisi sekarang, harusnya kita sebagai masyarakat yang memiliki potensi menolong haruslah memutuskan lingkaran setan tersebut. Minimal kita berusaha menjawab pun memang bila tidak dapat membantu.

Bukankah kita akan lebih senang bila seseorang merespon chat kita di grup daripada sekadar iqro’ (membaca)?

Baca dan balaslah 🙂
Ingat, ini baru di grup media sosial, belum lagi di kehidupan yang lebih luas

#sejenakBerpikir

*Mahasiswa UNM yang akhirnya lulus mata kuliah Psikologi Eksperimen – Muhammad Riszky*

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.

x