Sepucuk Impian

Desa sebuah wilayah dimana semua kehidupan dan juga alam disana masih asri dan juga alami. Udara yang segar dan sejuk di pagi hari, kehidupan masyarakat yang masih tradisional yang juga masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat, kerukunan dan keharmonisan yang selalu terjalin antar masyarakat menambah suasana nyaman saat berada disana.

Setiap tradisi yang ada di desa selalu mereka ikuti dan jalani dengan penuh khidmat. Tak heran jika orang desa sangat-sangat memahami apa arti dari sebuah tradisi maupun ritual. Mungkin dari itu semua membuat Kayla nyaman hidup di desa. Kayla seorang remaja perempuan berusia 15tahun yang lahir dan juga dibesarkan di desa. Kedua orang tuanya pun hanya seorang petani, dan mayoritas masyarakat di desanya hanya bekerja sebagai buruh petani, kuli-kuli, dan ada juga yang menganggur.

Namun itu semua tak membuat Kayla malu hidup dan juga besar di desa, justru karna itulah dia mempunyai mimpi dan tekad yang kuat untuk merubah kondisi lapangan pekerjaan yang masih terbatas di desa. Saat itu di desanya mayoritas remaja perempuan dan juga laki-lakinya hanya berijazahkan smp itu semua dikarenakan Sekolah Menengah Atas yang dijanjikan oleh pemerintah tidak juga segera dibangun. Karena sarana yang minim dan juga medan yang tidak mudah ditempuh membuat alasan tersendiri bagi pemerintah untuk mengulur-ulur pembangunan Sekolah Menengah Atas di desa Kayla.

 

Dan mau tidak mau jika ada yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA warga di desa harus rela merogoh uang yang tidak sedikit untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya di kota. Maka dari itu banyak dari warga desa yang tak ingin anaknya melanjutkan ke jenjang SMA dikarenakan jarak maupun kondisi ekonomi kedua orangtuanya.

“Bagaimana bisa merubah kondisi lapangan pekerjaan ataupun pendidikan di desa jika tidak ingin melanjutkan ke jenjang SMA?” Padahal disaat SMA lah wawasan kita bisa bertambah luas. Itulah pikiran yang terlintas dalam benak Kayla. Hari demi hari terus berjalan pikiran itu selalu menghantui Kayla. Dan akhirnya ia pun memberanikan diri mengatakan itu pada orangtuanya, penolakan yang tegas langsung dikatakan oleh ayahnya. Ia pun mencoba untuk menjelaskan maksud dan tujuannya melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA di kota. Namun itu semua membuat ayah dan ibunya merasa berat hati untuk melepaskan Kayla. Setelah seminggu berjalan akhirnya Kayla memberanikan diri untuk berangkat ke kota dan dengan berat hati sang ayah mengantar kayla ke terminal bis. Ibunya pun terlihat sedih ketika Kayla meninggalkan rumah dan memutuskan melanjutkan pendidikannya di kota.

Perjalanan yang menghabiskan waktu hingga 5 jam di bis membuat orangtua Kayla cemas. Sesampainya di kota Kayla langsung menghubungi orangtuanya. Dengan berbekalkan alamat SMA nya ia pun langsung bergegas pergi menuju ke tempat itu dan langsung melakukan pendaftaran dan Kayla pun juga mendaftarkan dirinya sebagai siswa asrama di SMA tersebut.

Kehidupan di kota berbanding jauh dengan kehidupan di desa. Itulah yang dirasakan Kayla setelah sehari tinggal disana. Ketika tiba saatnya Kayla masuk sekolah dan menjalani pendidikannya di sekolah tersebut Kayla pun merasa senang, ia sama sekali tak merasa iri dengan gaya hidup remaja-remaja kota yang mayoritas berhura-hura dan juga foya-foya saja. Ia bangga menjadi satu-satunya remaja yang berasal dari desa, meskipun di hari pertama itu teman-teman sekelasnya banyak yang menindas dan juga mengejeknya karna berpenampilan kuno dan tidak modern sebagaimana mayoritas gaya hidup di kota. Itupun tak membuat Kayla takut atau minder. Justru saat itulah ia lebih kuat untuk mengejar impiannya merubah kondisi lapangan pekerjaan dan juga pendidikan yang ada di desanya. Waktu terus berjalan, dan setiap tahunnya Kayla meraih peringkat 1 dan menjadi siswa terbaik di kelasnya. Ia membuktikan pada semua teman-temannya bahwa masyarakat yang berasal dari desa tidak semuanya bodoh. Hanya saja pola pikir yang masih kuno yang mungkin menghambat kemajuan hidup orang desa.

Hingga saat kelulusan tiba, Kayla dinobatkan sebagai siswa terbaik setiap tahunnya oleh pihak sekolah hingga mendapatkan beasiswa ke jenjang perguruan tinggi. Beasiswa itupun langsung ia ambil tanpa pikir panjang. Setelah setahun menjalani pendidikan di universitas dia juga tak kalah saing dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang lebih jenius darinya. Dia juga menjadi salah satu kebanggan di jurusannya tersebut. Meskipun di kota Kayla hidup sendirian tak membuat ia takut menghadapi kerasnya hidup di kota. Beasiswa yang ia peroleh pun hanya untuk membiayai kebutuhannya selama menjalani pendidikan di universitas tersebut. Dan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya Kayla rela meluangkan waktu istirahatnya untuk menjual roti gandum di alun-alun kota, saat menjual roti pun ia juga selalu menyempatkan membaca bahkan mengerjakan tugasnya disitu.

Tepat jam 7 malam Kayla harus kembali ke pengepul roti untuk menyetor hasil penjualan. Untung yang ia dapatkan juga tak seberapa tapi ia selalu mensyukurinya. Ketika sampai di tempat kostnya ia tak langsung beristirahat, ia justru mengerjakan tugasnya hingga larut malam. Begitupun seterusnya hingga saat ada libur kuliah dia tak kembali ke desa, ia justru bekerja serabutan di kota untuk melatih mentalnya. Ia bekerja sebagai pelayan di restoran hingga sore hari, lalu menjual roti gandum hingga jam 7 malam, dan setelah itu ia juga menyempatkan diri untuk mengajar di panti asuhan hingga jam 10 malam.

Kegiatan itu rutin dilakukan 4tahun lamanya hingga Kayla menyelesaikan pendidikannya mendapat gelar sarjana dan termasuk mahasiswa cumlaude di universitasnya. Prestasi yang ia dapatkan selama 7 tahun menimba ilmu di kota menjadi kebanggan untuknya dan juga orangtuanya. Berbekalkan ilmu yang ia peroleh selama di kota ia memutuskan untuk kembali mengabdi di desanya. Ia harus menyelesaikan impian dan juga tekadnya untuk merubah kondisi lapangan pekerjaan dan pendidikan di desa.

Sekembalinya Kayla di desa, warga desa menyambutnya dengan penuh suka cita. Mereka bangga mempunyai Kayla yang pintar dan berhasil prestasinya di kota. Hari demi hari Kayla membagikan ilmu-ilmu yang ia dapatkan pada teman-temannya yang ada di desa. Hingga pada suatu saat Kayla dan juga teman-temannya memutuskan untuk membuka usaha konveksi di tiap-tiap RT di desanya. Tiap-tiap RT mempunyai bagiannya masing-masing, ada yang bagian merajut, menjahit, hingga membuat pola. Kerja sama usaha yang terjalin diantara mereka pun berjalan sangat lancar dan sukses hingga hasil konveksinya sampai keluar kota bahkan keluar negri.

Dan berkat usaha itu pula desa Kayla semakin maju dan terkenal dengan hasil-hasil konveksinya. Setahun sudah berjalannya usaha itu akhirnya Kayla, warga dan pemerintah setempat memutuskan untuk membangun pabrik konveksi di desa tersebut. Hingga pabrik itu selesai dibangun dan diresmikan pemerintah, kehidupan di desa Kayla sudah sangat maju. Sarana dan prasarana yang ada sudah sangat canggih dan tidak ada lagi yang menganggur bahkan semakin majunya desa itu banyak donatur dari kota yang ingin mewujudkan impian Kayla untuk membangun sekolah SMA di desa tersebut. Bukan hanya SMA bahkan donatur-donatur dari kota siap mendirikan perguruan tinggi dan memberikan beasiswa-beasiswa bagi warga desa yang mempunyai prestasi akademik maupun non akademik.

Kayla bahagia dan bangga begitu juga dengan kedua orangtuanya. Ia tak menyangka bahwa desanya bisa sangat maju dan terkenal seperti sekarang ini berkat usaha dan kerja sama antar warganya.

 

“Jika kita mempunyai mimpi dan juga tekad yang kuat untuk memperbaiki suatu kehidupan menjadi lebih maju entah dimana itu tempatnya apapun rintangannya kita harus yakin bahwa kita bisa karena Tuhan selalu disisi kita untuk membantu kesusahan dan rintangan yang sedang kita hadapi”

Artikel berjudul “SEPUCUK IMPIAN” ini adalah artikel lomba yang di adakan oleh Redaksi Seputar Kuliah

Ditulis oleh: Ivena Ounesty (Bisa disapa lewat IDLine : venesty23)

Leave A Reply

Your email address will not be published.

x